Rabu, 15 Agustus 2012

tanah surga... katanya

Bukan lautan hanya kolam susu
Kail dan jalan cukup menghidupimu
Tiada badai tiada topan kau temui
Ikan dan udang menghampiri dirimu
Orang bilang tanah kita tanah surga
Tongkat kayu dan batu jadi tanaman
Orang bilang tanah kita tanah surga
Tongkat kayu dan batu jadi tanaman
Begitu kiranya lirik lagu koesplus yang tenar pada tahun 60an. Lagu itu pula yang menjadi soundtrack film Nasionalisme, hadiah untuk Ulang Tahun Indonesia yang ke 67. Yap, judulnya "Tanah Surga... Katanya" Film ini rilis pada tanggal 15 Agustus 2012, mengingat hari Kemerdekaan yang jatuh pada tanggal 17 Agustus.
Awal membaca judul film ini, rasanya greget dan berbagai bentuk picingan mata ku menyambutnya. Betapa tidak? Tanah Surga? its oke, sejak dulu sering aku dengar itu, bahwa Indonesia memiliki kekayaan alam yang tidak sedikit. Ada lagu semasa kecilku yang masih ku ingat.. "Hei Indonesiaku, tanah subur rakyat makmur.. Tanam salak tumbuh salak, tanam duren tumbuh duren, tanam padi tumbuh padi", bukan begitu guys? And then, tidak sampai dikata itu judul film yang kubaca. Ternyata masih ada sambungannya, hehe. "Tanah Surga.. Katanya". Nah loh?
Well, rasa greget dan penasaran tidak cukup sampai disini. Terbuka lebar untukku menyaksikan filmnya. Film drama yang disutradarai oleh Dedy Mizwar pun ini langsung kuhantam pada saat itu juga, tanggal lirisnya. Meskipun harus berseteru dengan waktu terlebih dahulu, hehe.
Referensi Film Perbatasan antara Kalimantan dan Malaysia menjadi latar dari cerita ini. Hidup seorang kakek bernama Hasyim, anak lelakinya yang ditinggal istri meninggal bernama Haris. Cucu laki-laki yang bernama Salman dan perempuan bernama Salina. Dengan seadanya mereka hidup, disebuah dusun yang jauh dari kota, fasilitas yang amat tidak memadai. Benar-benar miris jika dibandingkan dengan suasana Ibukota Jakarta saat ini.
Tidak hanya itu lattar cerita ini, kebanyakan penduduk dusun itu bermata pencaharian pedagang di perbatasan Malaysia. Dengan bermata uang Ringgit Malaysia, pun akhirnya mereka tak mengenal lagi mata uang Indonesia, Rupiah. Sehingga mengakibatkan tidak sedikit warga dusun yang berpindah alih menjadi warga Malaysia, hidup sejahtera itulah alasan mereka mengapa pindah kewarganegaraan..
Berawal dari seorang kakek Hasyim, mantan sukarelawan konfrontasi Indonesia Malaysia tahun 1965, mengalami dilematis setelah diajak anaknya untuk hidup di Malaysia. Hal ini dipicu oleh Haris yang hidupnya melimpah di negeri itu. Sebagai mantan pejuang Nasionalis yang masih tertanam nilai-nilai Nasionalismenya jelas menolak ajakan anak laki-lakinya itu. Kakek Hasyim lebih memilih hidup di Indonesia meski hanya Jakarta yang dimakmurkan. "Saya mengabdi bukan pada pemerintah, tapi saya mengabdi pada negeri ini," tegas kakek Hasyim. Hingga akhirnya, hanya Salina -anak Haris- yang berhasil diajak ke negeri Ringgit itu.
Hingga akhirnya, seorang guru -Ibu Astuti- dan seorang dokter -dr. Anwar- masuk dalam kehidupan dusun itu. Ibu Astuti pun mengajar anak-anak yang menginjak kelas 3 dan kelas 4 di sekolah yang hampir rubuh, tak hanya mengajar, Ia pun juga menanamkan nilai-nilai Nasionalisme. Sedangkan dr.Anwar yang dikenal sebagai dokter Intel mengobati warga yang terkena penyakit walau kadang pengobatannya bersifat sementara.
Ah, lagi-lagi film Dedy Mizwar mengalirkan kelucuan-kelucuan negeri kita ini, Indonesia. Mengapa aku katakan seperti itu? Tak lain hanya referensiku yang memang baru saja kunikmati film ini.
Salah satu alur cerita ini, seorang pejabat, yang diperankan oleh Dedy Mizwar, berkunjung ke dusun tersebut. Beliau ingin menunjukkan kepeduliannya.. Dengan ditampilkan bakat-bakat anak murid yang baru dibentuk, pejabat itu pun menyaksikan dengan seksama. And, setelah itu apa yang terjadi? Tersindir, itulah mungkin yang dirasakan pejabat ketika mendengarkan puisi yang dibacakan Salman,
Tanah surga oleh Salman
Bukan lautan hanya kolam susu, katanya.
Tapi kata kakekku hanya orang-orang kaya yang bisa minum susu.
Kail dan jala cukup menghidupimu, katanya.
Tapi kata kakekku ikan-ikan kita dicuri oleh banyak negara.
Tiada badai tiada topan kau temui, katanya.
Tapi mengapa ayahku tertiup angin ke Malaysia?
Ikan dan udang menghampiri dirimu, katanya.
Tapi kata kakek "Awas, ada udang dibalik batu."
Orang bilang tanah kita tanah surga, tongkat kayu dan batu jadi tanaman, katanya.
Tapi kata dokter intel belum semua rakyatnya sejahtera banyak pejabat yang menjual kayu dan batu untuk membangun surganya sendiri"
Tidak hanya disitu penderitaan mereka, Kakek Hasyim akhirnya semakin menderita dengan penyakit asmanya. Harus diobati dirumahsakit kota. Dengan ongkos yang dikumpulkan Salman, berangkatlah Kakek Hasyim, Salman, Ibu Astuti dan dr. Anwar menuju kota dengan perahu sampan.
Keadaan miris yang sedang terjadi dengan Haris -anak Kakek Hasyim- tengah merayakan kemenangan bola yang baru saja digelar pertandingannya, antara Malaysia dan Indonesia. Pada saat bersamaan, kakek Hasyim pun meninggal di atas sampan setelah berkali kali dr. Anwar meringankan rasa sakitnya.
Miris, miris..
Sebuah film yang amat tersindir tuk pemerintah. Bahwa ada pahlawan Indonesia yang tidak tersejahterakan, hingga meninggal dengan keadaan yang.. Ah sudahlah, rasanya tak sanggup aku menceritakan.
Oke, blogger.. Cukup sekian mengenai "Tanah Surga, Katanya". Berharap ada hikmah yang dapat diambil, khususnya pemerintah negeri ini.

0 komentar:

Posting Komentar